Selasa, 03 Mei 2011

makalah tarikh tasyrik

BAB I
PENDAHULUAN

Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan
berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah nasikh-mansukh. Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah masalah asas, pengertian/batasan, jenis-jenis, kedudukan,hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan hikmah kegunaannya
Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pastisaling bertentangan. Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami dan menafsirkan ayat-ayat serta ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam 114 kelompok surat, mengandung berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya terkandung antara lain nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur, perintah dan larangan. Masalah-masalah yang disebutkan terakhir ini, tampak jelas dengan adanyAciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan. Dalam kaitan itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat adanya pendapat yang memandang adanya tiap ayat atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari al-Qur'an tidak ada
kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang demikian merupakan asas metode penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya.














BAB II
PEMBAHASAN

A. Penetapan hukum dan sumber hukum sahabat generasi kedua
Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap di Madinah Nabi saw. melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu. Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram (semua harta yang diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan menghormati hak milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar, perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu semua tidak akan tidak melahirkan sistem hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para Tabi'in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da’irat al-Ma'murah) telah mempunyai tradisi sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.

Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi'in itu ialah semacam pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat, khususnya masyarakat Madinah.
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam yang lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap perkembangan yang terjadi. Berkenaan dengan hal ini al-Sayyid Sabiq menjelaskan, ...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan secara sepenuhnya terperinci, dengan dijelaskan oleh nash-nash yang bersangkutan; maka tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah), urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar, agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di semua zaman dan agar dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar bahwa letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif terhadap setiap perkembangan zaman dan peralihan tempat (shalih li kull zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat menarik mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,
Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci itu. Penetapan hukum keagamaan murni, seperti hukum-hukum ibadat, tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak keluar dari lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan menjelaskan (tabyin). "Tidaklah ia (Nabi) berbicara atas kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).

Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw. Diperintahkan bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi pernah mempunyai suatu pendapat, tapi ditinggalkannya dan menerima pendapat para sahabat, sebagaimana terjadi pada waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna berbagai nash yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang nash-nash itu, sehingga Nabi kadang-kadang membenarkan pemahaman mereka itu, dan kadang-kadang beliau menerangkan letak kesalahan dalam pendapat mereka itu.
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman Nabi sendiri, kemudian zaman para Sahabat, dan diteruskan ke zaman para Tabi'in. Tapi jika pada zaman Nabi tempat rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui semua. Pada zaman para sahabat Nabi itu diwarisi banyak tokoh, yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi sejak pertikaian politik pada paroh kedua kekhalifahan 'Utsman, tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian berselisihnya, tempat rujukan itu sudah mulai nampak. Seperti dilukiskan Siba'i yang telah dikutip di atas, penyebaran dan perselisihan otoritas itu memuncak pada sekitar sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini terjadi tanpa peduli dengan sambutan sebagian besar umat Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun Persatuan" atau "Tahun Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan" dan "solidaritas" itu agaknya hanya terbatas pada kenyataan kembalinya kesatuan politik (formal) umat Islam di bawah Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.

B. Pengertian nasikh dan mansukh
ilmu nasikh dan mansukh ini adalah ilmu Nasakhi, yaitu ilmu yang membahas ihwal penashakhan (penghapusan dan penggantian) sesuatu peraturan hukum Al-qur’an. Hampir semua ulama menamakannya dengan ilmu Nasikh dan mansukh. Pembahasan di sini pun menggunakan istilah tersebut, sebenarnya pembahasan ilmu Nasikh dan Mansukh ini tidak terbatas hanya soal Nasikh (yang menghapus) dan Mansukh (yang dihapus).
1. Pengertian Nasikh
a. Nasikh menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapuskan, meghilangkan atau yang memindahkan atau yang mengutip/menyalin serta mengubah dan menganti.
b. Nasikh menurut istilah hukum syarak atau dalil syarak yang menghapuskan/mengubah hukum/dalil syarak yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawanya. Nasikh itu adalah Allah SWT. Artinya bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah Allah SWT, tidak ada yang lain. Sebab dalam hukum syarak itu hanya dari Allah SWT tidak dari yang lain. Hal ini sesuai dengan keterangan Al-qur’an.
Dalam ayat tersebut diatas, dengan tegas Allah SWT berfirman,bahwa Dia-lah yang menasakhkan dan mendatangkan gantinya yang lebih baik atau yang sebanding dengan yang di nasak.
2. Pengertian Mansukh
a. Mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah atau pun disalin/dinukil.
b. Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh ialah hukum syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan digantikan dengan hukum dari dalil syarak baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki dan penggantian hukum tadi.

C. Macam-macam nasakh dan mansukh
- Nasikh-mansukh antara Al-qur’an dengan sunah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hukum dalam Al-qur’an dengan lain ayat yang juga memuat ketentuan hukum dalam Al-qur’an dengan lain ayat yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi.
- Nasikh-mansukh antara satu hadist yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama merupakan satu hal yang tidak diperselisihkan lagi. Masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama ialah adanya nasikh-is mansukh silang antara Al-qur’an dengan hadist/sunah. Jika disimak alasan masing-masing pihak, mungkin dapat ditarik satu garis bahwa faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang kedudukan hirarki Al-qur’an dan sunah dalam syariat itu sendiri.

D. Contoh Nasikh dan Mansukh


































BAB III
KESIMPULAN

Dalam kaitan hirarki al-Qur'an dan Sunnah, ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan peraturan hukum lainnya yang lebih rendah tingkatannya. Demikian pula lembaga yang mengeluarkan peraturan hukum menjadi faktor pertimbangan. Berdasarkan pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah saw wafat maka tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada syari'at.
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Alla dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianla Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama. Jika engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pasti akan bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupu spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu beruba menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa kemudian orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredara (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin.


DAFTAR PUSTAKA
http://www.Blogspot.com. sejarah-awal-penyusunan-dan-pembakuan.html.
Al-jauziyah, Ibn Qayyim. Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an, Jakarta:Lentera,2002.



nama : VIA RIZQA
nim : 210 981 898

Tidak ada komentar:

Posting Komentar